Ekonomi & Bisnis

Brazil Jangan Kirim Ayam Mu, Kirim Saja Jagung dan Kedelai

Kita bicara ayam dan kontroversi tahun 2019 lalu soal menangnya Brazil di WTO. Tentang impor ayam asal Brazil. Sampai hari ini meskipun keran impor dibuka ; tapi ayam Brazil belum berhasil mencetak gol melawan ayam Indonesia.

Kenyataannya, ternyata ayam utuh Brazil dibandingkan harga ayam kita di harga eceran, dengan bea masuk dan pajak peraturan norma import yang ada tidak memiliki harga yang kompetitif. Jika harga eceran rata2 2019 ayam di konsumen 32 33 ribu rupiah per kilo . Karkas brazil masuk di harga 23 ribu per kilo. Dengan bea masuk pajak Margin importir dan rantai dagangnya mungkin bisa mencapai 31.500 HET nya. Beda 1.500. Namun isu kesehatan halal dan beberapa aspek lain menjadi pertimbangan konsumen akan membuat ayam brazil belum tentu laku di Indonesia. Dengan harga beti alias beda tipis. Saat ini importir importir indonesia belum tertarik untuk berbisnis disini. Belum menarik. Peternak masih bisa sedikit tenang.

PR selanjutnya adalah menjaga hal ini tetap seimbang dan konsisten. Sedikit yang punya “sense of emergency” di industri ini. Kebanyakan pelakunya terutama peternak mandiri diluar perusahaan besar integrator,  cenderung pemain pemain lama pengambil peluang peluang momen harga baik. Dan teriak teriak ke pemerintah ketika momen harga jelek. Ironis tapi realita. Semua dibiarkan begitu saja.

Sedikit sekali yang bicara lantang dan tegas soal EFISIENSI dan competitiveness atau daya saing. Cenderung menyalahkan pemerintah. Tapi tidak mau berubah.

Apa kunci dari daya tahan dan daya saing ?

  1. Harga
  2. Modal yang rendah (hpp rendah)
  3. Kuntinyuitas atau berkesinambungan.

Semua praktisi faham hal ini. Tapi kenapa di industri perunggasan lain ?

(Detail membahas tentang rantai bisnis ayam yang kompleks panjang dan semua mau uang untung di semua titik rantai penjualannya).

Apa faktor terbesar pembentuk efisiensi di ayam yang saat ini ayam adalah penyumbang bahan pokok protein paling tinggi diminati. Diatas ikan dan daging sapi.  Faktornya adalah pakan ternak. Bahan dasar pakan ternak adalah jagung.

Judul yang kontroversial tadi soal brazil : “kirim saja jagung dan kedelai” menjadi hal yang kontradiktif dan tidak sesuai realita di indonesia.saat ini jagung impor dilarang masuk oleh pemerintah indonesia. Meskipun sebenarnya dibanyak pihak tahu; dan mengerti. Jagung luar negeri. Terutama brazil dan argentina. Punya harga yang kompetitif. Jagung mereka membuat ayam mereka laku di seluruh dunia. Karena efisien berkualitas tinggi dan harganya sangat murah.

Berapa bedanya ? 30 persen . Bayangkan. 30 persen. Harga rata rata jagung brazil sampai ke indonesia bisa 3500 sd 3700 on jakarta port. (Tidak bisa dijual. Karena regulasi pemerintah melarang impor jagung) vs harga jagung lokal 4300 terendah, rata2 4600 dan bisa sd 5300 di musim paceklik.

Ironis ? Semua orang mau efisiensi tapi tidak ada yang fokus kepada bahan dasar pembentuk efisiensi. Dan pembentuk daya saing.

Pengalihan isunya banyak. Bahwa ayam indonesia secara karkas tidak bisa dijual keluar negeri karena a b dan c . Dalihnya selalu residu antibiotik, dan lain2. Yang kenyataan lapangannya mudah diatasi. Kenyataan dari beberapa buyer internasional hanya simple saja : harganya muahal bung.

Yang sulit adalah : efisiensi. Karena kita mau efisien. Ndak boleh. Lho kok ? Punya daya saing. Nggak boleh. Ada apa ini ?

Beli jagung harus sekian. Beli bahan dasar sekian. Bibit sekian. Pakan sekian. Semua diatur. Bahkan kuota bibit induk impornya diatur. Tapi harga dibiarkan ngawur. Begitu pemerintah keluarkan permendag no xx tahun xx.

Bicara soal harga yang blunder. Yaitu 19 rb di farm gate. Jika 19 ribu. Sebenernya industri kita jauh dari kata efisien dan berdaya saing. Karena negara2 lain sudah bermain di hpp one dollar. Atau harga pokok penjualan di 1 dolar ayam hidup. 14 rb vs 19 ribu ? Lalu pada saat harga dibawah 17 rb semua sudah teriak karena peternak rugi. Hari ini hpp rata2 peternak di 18 rb.

Apa yang salah ? Bahan baku. Bahan baku impor dilarang. Negara mendadak mengarahkan kita jadi preman di ladang yang kurang. Sekali lagi produksinya. Sangat kurang. Banyak yang bilang surplus. Tapi kenyataannya silahkan tanya asosiasi GPMT. Betulkah surplus ? Kalau surplus kenapa mereka sibuk cari bahan lain dan sibuk ajukan impor lain contohnya gandum. Kondisi dibiarkan overdemand. Untuk kepentingan tertentu. Kepentingan siapa ? Saya kurang pintar dalam politik. Tentu kurang bisa prediksi.

Yang saya tahu ada darurat daya saing. Mengenai harga kita yang selangit di bahan baku. Dan skill serta kemampuan infrastruktur yang dibiarkan begitu saja. Mau sampai kapan diam ? Dan jadi kuli di lumbung sendiri ? Kuli jelas dibayar. Ini lebih parah. Kuli yang bisa merugi. Materil dan immateril. Mau sampai kapan ? ***

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button