ELPAGA : PTSP Menghalangi Kebebasan Pers

Bandung (PI) – Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat mulai 1 Juli 2020 akan menerapkan kebijakan yang disebut Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Demikian disampaikan Plt Kakanwil Kemenag Jabar Drs.H.A.Handiman Romdhony didampingi Kasubag Inmas, H. Ohan Burhan, Kasubah Umum, H. Ahmad Shiddiq dan Kasubag Hukum H. Dadi dalam acara Sosialisasi Regulasi Kemenag dengan Wartawan Pokja Liputan Kementerian Agama, di Aula Simpadu Kemenag Jabar, Jumat (19/6).
Menurut Plt Kakanwil, segala bentuk pelayanan publik termasuk wartawan yang ingin mendapatkan informasi dilaksanakan dalam satu pintu (PTSP). “Rekan media yang biasanya langsung konfirmasi dan berhadapan langsung dengan pejabat yang dimaksud kini akan berubah caranya,” ujarnya.
Sementara Ketua Elemen Masyarakat Pemerhati Kementerian Agama dan Masalah Keagamaan (ELPAGA), H Dedi S Asikin dalam keterangan persnya lewat media daring, Minggu (21/6) dengan tegas menolak kebijakan Kepala Kanwil Kemenag Jawa Barat tersebut.
Menurut H Dedi S Asikin yang akrab dengan sebutan Dewan Syuro juga seorang wartawan, secara hukum wartawan lebih pas diatur oleh UU 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sedangkan PTSP mengacu kepada UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
“Tujuan makna dan arah kedua UU itu nyaris serupa tapi tak sama. UU KIP lebih ditujukan pemberian hak kepada masyarakat untuk tahu apa yang terjadi, apa yang dilakukan oleh penyelenggara negara yang merupakan mandat dari rakyat. UU KIP sejalan dan bersumber dari Pasal 28f UUD 1945. UU 25 TH 2009 merupakan cara pemerintah dalam melayani pemberian hak publik. Misalnya dlm urus KTP/KK, Surat Kelahiran, Bansos atau hak-hak lain yang diperuntukan masyarakat,” paparnya.
Dikatakan H. Dedi, bagi seorang wartawan semua orang adalah narasumber. Dari mulai tukang beca, pengemudi ojeg sampai menteri bahkan presiden. Prinsip kerja wartawan adalah cepat tepat dan akurat. Ia berbeda dengan prinsip kerja diplomat yang kadang biar lambat asal selamat. Wartawan harus cepat dan selamat. Oleh kerena itu wartawan tidak nyaman dengan birokrasi yang kadang dipertontonkan oleh penyelenggara negara.
PTSP menurut Ketua Elpaga bisa dirasakan wartawan sebagai menghalangi kebebasan pers yang dijamin oleh UU 40 TH 1999.
“Memang presiden menteri atau pejabat lain memiliki struktur juru bicara, tapi ini tidak berarti wartawan tidak boleh wawancara dengan presiden, menteri atau pejabat lain. Jadi jubir atau humas jangan menjadi satu-satunya nara sumber wartawan. Kasihan mereka sempit nanti informasinya,” tegasnya.
Masih menurut Dedi Asikin, bagi wartawan semua pejabat atau pegawai telah diangkat dengan pertimbangan cukup cakap untk memangku jabatan itu. Jadi tidak ada alasan utk melarang mereka memberi informasi kepada pers sepanjang menyangkut jabatan yang dipangkunya.
Dulu di Kanwil Kemenag Jawa Barat pernah ada Surat Keputusan yang ditandatangani Kakanwil (Muhaimin Lutfhi) yang mengharuskan wartawan hanya berhadapan dengan humas tidak boleh minta informasi kepada pejabat lain. Tapi keputusan itu tidak berjalan. Pasalnya sebagai wartawan Dedi yang di kalangan teman-teman biasa dipanggil Dewan Suro mengaku kesulitan mendapatkan informasi yang diperlukan.
Saat bertanya humas belum siap dengan data-data dan malah belum tahu masalahnya. Sebagai wartawan yang perlu info cepat ia protes kepada kakanwil. Pada akhirnya itukah SK kakanwil mati suri. Karana semua ini sekali lagi ELPAGA meminta Kepala Kanwil Kemenag Jabar melunakkan PTSP ini khusus untuk masyarakat luas dan berikan kebebasan kepada pers untuk bekerja mudah dan nyaman sesuai UU 40 1999.
“Ingat ada ancaman hukum bagi pelanggaran kebebasan pers,” kilahnya.
Ketua Elpaga juga mengakui kemungkinan wartawan membuat kesalahan dalam berita. Tapi kan ada instrumen untuk membetulkanya yaitu hak jawab. “Soal salah wartawan juga manusia bukan malaikat. Gitu aja kok repot,” ringkasnya dalam pernyataannya lewat media daring. *(Nas/Tim Investigasi)