Pendidikan

Kemitraan Sebuah Keniscayaan ?

Kemitraan itu bukan Undang-Undang. Bukan pula PP, Perpres atau pun Permen. Kemitraan itu sebuah kebijakan, sebuah kearifan yang dilandasi hati nurani. Kesadaran bahwa bekerja membangun bangsa ini tidak bisa jalan sendirian, solangan wae. Tapi harus bersama-sama bergandeng tangan, rambati rata, rawe rawe rantas malang-malang putung, rembug jugung sesama komponen bangsa. Kebersamaan itu  kesohor dengan istilah kemitraan. Menurut sejarahnya, kemitraan itu digagas Pemerintah. Waktu itu pemerintah ingin mendapat partisipasi masyarakat dan menganggap Pers/media representatif mewakili masyarakat dalam bermitra kerja.

Membuat judul tulisan ini saya teringat seseorang. Dia sekarang pejabat teras di Kanwil Kemenag Jawa Barat. Namanya Handiman A Romdony. Akrab dipanggil Pak Dony. Sekaranng beliau Kepala Bagian Tata Usaha. Orang sering bilang itu orang kedua di Kanwil. Saya kenal dia waktu  menjabat Kepala Sub Bag Humas di sana. Dialah orang yang  sering saya dengar  mengucapkan kalimat itu. Kemitraan sebuah keniscayaan. Jujur menulis artikel ini saya ingat beliau. Sudah agak lama juga gak ketemu.  Saya percaya dia masih seperti itu, masih seperti yang dulu, mencintai kemitraan.

Pada jaman Bung Karno sekitar tahun 1950-an,  Pers itu sangat dimanja Presiden. Anda minta bukti ? Oke,  Pada awal pemerintahanya,  Bung Karno sudah mengangkat Ahmad Subardjo wartawan Matahari menjadi Menteri Luar Negeri. Lalu BM Diah menjadi Menteri Penerangan.

Selain itu ada sejumlah  wartawan diangkatnya menjadi Duta Besar dan Berkuasa Penuh di Negara sahabat. Sebut saja  misalnya Djarwoto jadi Dubes di Peking, Adam Malik di Moskow Sukrisno di Hanoi, Tasyrif di Mali, Asa Bafaqih di Colombo dan seterusnya. Konon semuanya berjumlah 15 orang.

Kenapa Bung Karno baik hati betul kepada para kuli tinta itu. Jangan salah, ternyata ada maunya. Ada udang dibalik bakwan.  Berlatar belakang politis,  ternyata, konon waktu itu tahun 1950 an, bung Karno ingin mendapat dukungan kalangan Pers. Pasalnya  dia akan menerapkan sistim Demokrasi Terpimpin. Biar aman wartawan harus “dijinakan ”dulu. Begitu kira-kira benak bung Karno.

Bisa jadi lantaran melihat Presiden begitu sayang sama wartawan, maka sejumlah Menteri juga ikut-ikutan dan membangun hubungan baik dengan para wartawan. Ada semacam Soekarno efek gitu. Ada beberapa Menteri yang dikenal paling baik dan dekat dengan kalangan Pers. Tersebut nama Yusuf Muda Dalam, Pardede dan lainnya. Ada pula pengusaha Dasaad dan Markam.  Mereka tentu ada maunya. Ingin  mendapat dukungan untuk kebijakan yang mereka lakukan dalam pemerintahan atau perusahaan mereka.

Pak Harto juga mencoba membeli hati wartawan dengan mengangkat Harmoko menjadi Menteri Penerangan. Tak tanggung-tanggung dia dipercaya sampai 15 tahun bertengger dalam singgasana Menteri. Ada latar belakang yang dimaui pak Harto. Konon waktu itu Pemerintah merasa kurang mendapat dukungan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan. Misalnya pembangunan Irigasi Kedung Ombo di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ditentang habis oleh masyarakat. Masyarakat tidak mau meninggalkan kampung halaman meskipun air sudah mulai menggenangi rumah-rumah mereka. PWI yang dipimpin Harmoko memberi saran agar ke depan, pemerintah terlebih dulu memberi informasi kepada masyarakat tentang rencana serta manfaat sebuah proyek pembangunan. Jepang menjelang  restorasi Meiji melaksanakan hal itu. Sebelum membangun infrastrukktur secara fisik, Jepang terlebih dulu membangun sarana informasi dan komunikasi seperti surat kabar, radio dan televisi. Lewat sarana itu pemerintah Nipon menyampaikan programnya kepada masyarakat.

PWI menyarankan agar Koran bisa masuk pedesaan. Maka Pemerintahpun menggulirkan program Koran Masuk Desa (KMD). Pemerintah memberi subsidi kepada beberapa surat kabar  agar korannya bisa masuk dan dibaca oleh masyarakat Desa. Konon cara ini berhasil mendongkrak partisipasi masyarakat. Bahkan Presiden Soeharto mengaku,  ternyata peran serta masyarakat secara materi lebih besar dari dana APBN.

Bisa jadi sebagai upah lelah PWI atau balas budi, Harmoko pun didapuk  menjadi Menteri Penerangan. Salah satu ikon kerja Harmoko  dikenal sebagai pelopor program  “Kelompencapir”. Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pirsawan TV. Juga “Safari Ramadhan”. Keliling nusantara pada bulan puasa.

Belakangan   pemerintah secara resmi membuat  struktur jabatan dalam pemerintahan yang ditugasi mengurusi kepentingan Pers dan pemberitaann ya. Jabatan itu ada yang disebut Juru Bicara, Jubir. Yang lebih dikenal  adalah Hubungan Masyarakat atau Humas. Struktur itu dibentuk mulai dari pusat sampai ke daerah.

Di pundak Humas lah terbeban tugas untuk sebaik-baiknya membina kemitraan Pers dan Pemerintah.Hubungan kemitraanitu baik dan buruknya sangat tergantung kepiawaian seorang Humas.

Di Pemprop Jawa Barat dulu ada seorang Kepala Humas yang dianggap mampu dan berhasil membina kemitraan. Setidak tidaknya oleh Gubernurnya sendiri. Namanya Safder A. Yussac.

Ia sempat mengabdi kepada dua orang Gubernur, Aang Kunaefi dan Yogie Suardi Memet.

Gubernur Aang dikenal agak  temperamental. Kalau ada sesuatu yang ga enak di hati, Aang suka ngedumel dalam pidato di depan publik. Dan Yusac pun  segera menangkap isarat  itu. Ia segera loby sana loby sini, sampai akhirnya kondisi jadi ayem. Dan pak Gubernur pun tersenyum dikulum sambil angkat jempol kepada sang Humas.

Ganti Gubernur, Yussac tak kehilangan kapstock. Ia tetap bergantung dengan aman. Ternyata pak Yogie  juga “kesengsrem”  sama kepiawaian Yussac terutama dalam membina kemitraan dengan Pers.

Sampai-sampai ketika pak Yogie diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri Yussac pun diboyong  ke Jakarta. Ia naik derajat, diangkat  menjadi Kepala Biro Humas Departemen Dalam Negeri.

Apakah di era setelah 22 tahun reformasi, kemitraanitu masih berkibar ? Bisa jadi di beberapa instansi itu sudah tidak seperti dulu. Sudah mulai redup. Tapi Alhamdulillah  setidak-tidaknya di Kementerian Agama, angin segar itu berhembus sepoy sejuk dan nyaman. Ternyata Menteri Agama Fachrul Razi masih merasa perlu membangun kemitraan dengan media. Ia bahkan mengaku tidak pede jalan sendiri tanpa dukungan media. Dia mengaku dengan jaringan luas, SDM berkualitas, media punya otoritas menjadi jembatan informasi antara Kemenag dengan publik. Sehingga Kemenag  mendapat input berupa respon konstruktif dari publik.

Mudah-mudahan  Jendral  Fachrul bukan sekedar basa basi. Bukan karena  ingin berlindung dibalik para wartawan lantaran  dia sering dicecar Komisi VIII.

Kini para wartawan terutama yang ada di daerah masih ingin melihat dan membuktikan apakah “sabda” pak Menteri itu bertuah. Apakah kearifannya itu  diikuti oleh bawahannya para Kepala Kanwil, para Kepala Kantor Kemenag di daerah ? Apakah mereka “sami’na waa thona” ?. Wait and see waelah.- ***DEDI ASIKIN

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button