Terbongkar! Oknum Kades dan Dispenda Cianjur Diduga Jual Tanah Negara
Sebelum SPPT Terbit dalam Proyek Pembebasan 2.350 Hektare di Agrabinta

CIANJUR (PI) – Proyek pembebasan tanah garapan masyarakat di Kecamatan Agrabinta, Kabupaten Cianjur, yang mencakup lahan seluas 2.350 hektare, kini diselimuti dugaan praktik kotor. Informasi yang dihimpun dari berbagai sumber menyebutkan adanya penjualan tanah negara sebelum terbitnya SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) oleh sejumlah oknum kepala desa yang diduga berkolusi dengan pihak Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kabupaten Cianjur.
Proyek yang digarap oleh PT Intan tersebut melibatkan lima desa, yakni Mekarsari, Bojong Kaso, Sukamanah, Bunisari, dan Mulyasari. Dalam praktiknya, muncul indikasi kuat bahwa sejumlah tanah garapan dijual terlebih dahulu sebelum memiliki legalitas pajak dan administrasi.
Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-16/PJ/2013, tanah garapan tidak dapat diperjualbelikan tanpa adanya SPPT dan dokumen sah lainnya.
Namun di lapangan, transaksi dilakukan terlebih dahulu, sementara SPPT baru diurus belakangan, diduga demi melancarkan proses pembebasan.
“Ada tanah-tanah garapan yang sudah dijual, padahal SPPT-nya belum keluar. Ini permainan yang melibatkan aparat desa dan pihak Dispenda,” ujar salah satu sumber warga Desa Bojong Kaso, Jumat (10/10/2025).
Potongan Liar dan Aliran Dana Koordinasi
Selain pelanggaran administrasi, terungkap adanya potongan sebesar Rp1.000 per meter dari dana pembebasan yang semestinya diterima warga.
Dari total nilai Rp4.000 per meter yang dibayarkan oleh PT Intan, masyarakat hanya menerima Rp3.000 per meter, dengan dalih potongan untuk “biaya koordinasi”.
Dana tersebut diduga dikelola langsung oleh para kepala desa dan sebagian mengalir ke pihak lain yang berperan melancarkan proyek.
Skema ini menjadi sorotan tajam karena dianggap sebagai bentuk penyelewengan dan pungutan liar yang merugikan masyarakat penggarap.
“Warga merasa ditipu. Mereka tidak tahu potongan itu untuk siapa. Bahkan, ada tanah yang titik koordinatnya diubah agar masuk ke peta pembayaran proyek,” ungkap warga lainnya.
Dugaan Manipulasi Data dan SPPT Fiktif
Penelusuran lebih lanjut menemukan adanya rekayasa titik koordinat serta pemalsuan data kepemilikan tanah. Beberapa bidang tanah yang berbeda lokasi disatukan dalam satu peta hamparan, diduga untuk memperluas klaim dan memperbesar nilai pembayaran. Bahkan, muncul indikasi adanya SPPT fiktif yang diterbitkan untuk melegalkan lahan yang sebelumnya belum terdaftar.
Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana hingga 20 tahun penjara.
Aktivis Desak Polda Jabar Turun Tangan
Ketua Aktivis Pemerhati Masyarakat Cianjur, Ruli, SH, menyatakan pihaknya akan segera melaporkan kasus ini ke Ditkrimsus Polda Jawa Barat.
Menurutnya, praktik jual-beli tanah negara tanpa SPPT merupakan bentuk pelanggaran hukum serius yang harus diusut tuntas.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administrasi, tapi sudah mengarah pada tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan kewenangan. Oknum kepala desa dan pihak Dispenda harus dimintai pertanggungjawaban,” tegas Ruli.
Ia juga mendesak PT Intan agar meninjau ulang seluruh proses pembayaran kepada penggarap, terutama di wilayah yang terindikasi manipulatif, demi mencegah kerugian lebih besar bagi masyarakat.
Cermin Buram Tata Kelola Tanah Desa
Kasus pembebasan lahan di Agrabinta menjadi cermin gelap tata kelola pertanahan di tingkat desa.
Ketika aturan hukum diabaikan dan kekuasaan digunakan untuk memperkaya diri, maka rakyat kecil kembali menjadi korban permainan para elit lokal.
Publik kini menunggu langkah tegas dari Polda Jawa Barat dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk mengusut dugaan praktik mafia tanah yang melibatkan oknum desa dan aparat daerah di Cianjur. (Tim)