Stop Gratifikasi Liar dan Pungli Biaya Nikah di KUA
CIMAHI (pelitainvestigasi.com) – Praktek gratifikasi pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama sejatinya sudah lama terjadi bahkan sudah menjadi budaya yang sulit untuk dihilangkan. Gratifikasi tersebut dapat berupa pemberian barang atau sesuatu mulai dari yang terkecil sampai dengan jumlahnya tak terkira. Berbagai bentuk pemberian kepada petugas pencatat nikah saat menikahkan, di luar gaji adalah bagian dari gratifikasi.
Kemenag melalui Permenag Nomor 24 tahun 2014 juga menetapkan biaya menikah di kantor KUA pada jam kerja adalah gratis. Sedang di luar KUA dikenakan tarif Rp600.000. Honor dan biaya transportasi untuk penghulu telah ditanggung oleh Kemenag RI.
Gratifikasi pada dasarnya adalah “suap terselubung”. Pegawai atau penyelenggara negara yang terbiasa menerima gratifikasi terlarang lama kelamaan dapat terjerumus melakukan korupsi bentuk lain, seperti suap, pemerasan dan korupsi lainnya. Sehingga gratifikasi dianggap sebagai akar korupsi. Gratifikasi tersebut dilarang karena dapat mendorong sikap tidak obyektif, tidak adil dan tidak professional, sehingga tidak dapat melaksankan tugasnya dengan baik.
Kasi Bimas Islam Kemenag Kota Cimahi, Budi Ali Hidayat, SHI., sebagai penerima penghargaan dari KPK atas pelaporan gratifikasi baru-baru ini menjelaskan, kepada para petugas pencatat nikah atau penghulu dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan bertanggungjawab, karena pemerintah telah memberikan haknya secara jelas dan pantas lewat aturan Peraturan Menteri Agama Nomor 24 tahun 2014 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Biaya Nikah dan Rujuk di Luar KUA.
Menurutnya, Perlawanan terhadap KKN dan gratifikasi, semestinya sudah harus menjadi komitmen setiap aparatur pemerintah, termasuk di Kemenag.
Budi Ali Hidayat mengaku bersyukur sudah mendapatkan gaji atas pekerjaannya dari Pemerintah. Dia menyebut ada lima jenis pendapatannya, yaitu: gaji pokok, tunjangan kinerja, tunjangan lauk pauk, uang transportasi, dan tunjangan profesi.
Pria kelahiran Bandung, 10 Desember 1976, Alumnus Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung itu mengakui saat dirinya bertugas sebagai Kepala KUA banyak terjadi benturan kepentingan dengan masyarakat. Di sinilah muncul peluang-peluang terjadinya gratifikasi dan pungli dalam pencatatan pernikahan di kantor KUA.
Biasanya, kata Budi, selesai acara akad pernikahan petugas diberi amplop oleh keluarga pengantin yang jumlahnya variatif. Untuk itu, ia menganjurkan kepada pasangan calon pengantin diberi tahu sebelumnya agar tidak memberikan sesuatu kepada petugas yang sudah digaji dan diberi tunjangan oleh pemerintah. *(Elisa Nurasri)